DATA SHARE

JENIS-JENIS BENCANA DI DAS NOELMINA



Dari beberapa sumber data sekunder (BPBD Provinsi NTT dan PMPB) dan data primer hasil survey desa DAS Noelmina (2011), maka resiko bencana tertinggi di DAS Noelmina dapat dipetakan menjadi beberapa jenis bencana sebagai berikut.

KEKERINGAN (DROUGHT)

Kekeringan merupakan suatu fenomena yang tidak terhindarkan terjadi pada wilayah DAS Noelmina dan bahkan untuk provinsi NTT secara keseluruhan.

Berdasarkan pembagian iklim menurut Schmit-Ferguson, maka tipe iklim pada DAS Noelmina berkisar antara tipe iklim C (agak basah) sampai E (agak kering). Dimana tipe iklim C dan D (agak lembab) dengan rata-rata 5 s/d 6 bulan basah dan 6 s/d 7 bulan kering (rerata curah hujan 1.500-2.000 mm per tahun) pada wilayah administrasi TTS dan tipe iklim D sampai E dengan rata-rata 3 s/d 4 bulan basah dan 8 s/d 9 bulan kering (rerata curah hujan 1.000 s/d 1.500 mm per tahun) pada wilayah administrasi Kabupaten Kupang. 

Dari hasil survey desa DAS Noelmina (2011) terungkap bahwa pada wilayah Kabupaten TTS dan Kabupaten Kupang, bencana kekeringan merupakan kejadian “rutin” terjadi setiap tahun pada musim kemarau (drought). Meski demikian, untuk beberapa waktu belakangan sulit diprediksi batas waktu antara musim kemarau dan hujan di wilayah DAS Noelmina akibat anomaly La Nina. Bahkan akibat La Nina yang menyebabkan batas antara musim hujan dan kemarau menjadi tidak jelas sehingga menyebabkan kegagalan panen, terutama untuk tanaman yang amat sensitive terhadap perubahan kondisi lingkungan.

BANJIR (FLOOD)

Seperti halnya bencana kekeringan, banjir juga merupakan bentuk bencana yang rutin terjadi setiap tahunnya. Dimana ketika musim penghujan tiba dan frekuensi serta intensitas hujan meninggi, maka bencana banjir tidak terelakan lagi terjadi hampir di seluruh wilayah DAS Noelmina. Bahkan dewasa ini, hulu DAS Noelmina yang terletak di Cagar Alam Gunung Mutis yang notabene merupakan daerah tertinggi di pulau Timor pun tidak luput dari banjir. Ini menyiratkan bahwa telah terjadi kerusakan  di DAS hulu yang membawa dampak bagi DAS tengah dan hilir.

Kejadian banjir di DAS Noelmina yang diikuti kuat arus (stream power) akan menggerus pinggir sungai yang berkelok-kelok sehingga luasan lahan cenderung semakin berkurang dari waktu ke waktu (sumber : hasil pengamatan kualitatif saat survey). Selain itu, material sedimen yang terdapat pada sungai yang terbawa dari hulu hingga hilir DAS akan menyebabkan terjadi gradasi dasar sungai setiap terjadi banjir yang berakibat sungai tidak dapat menampung debit banjir (Setyabudi, 2008).

Penyebab bencana banjir dapat dibedakan atas dua, yaitu : sebab alami dan sebab antropogenik. Yang termasuk dalam sebab alami antara lain curah hujan, pengaruh fisiografis (geogragfis fisik sungai) yang meandering dengan pola aliran dendritik, erosi dan sedimentasi, serta kapasitas sungai. Sedangkan yang termasuk sebab antropogenik adalah merubah kondisi DAS melalui serangkaian aktivitas yang cenderung merusak lingkungan DAS (Kodoatie & Sugiyanto, 2002).

Apabila dikomparasikan dengan data pada aspek biofisik dan social, ekonomi dan budaya DAS Noelmina, maka dua penyebab banjir tersebut sesuai dengan kondisi DAS Noelmina. Sebagai contoh, pada musim hujan, frekuensi hujan yang tinggi akan menginisiasi banjir. Ditambah dengan kondisi fisiografis sungai yang rusak (tidak jarang pada beberapa lokasi ditemukan perladangan atau bangunan fisik pada daerah sempadan sungai), ancaman erosi dan sedimentasi serta kapasitas sungai yang tidak cukup menampung debit puncak yang  tinggi, maka hasil akhirnya banjir yang kerap melanda di DAS Noelmina.

Apabila ditelaah lebih mendalam, maka penyebab banjir oleh sebab alami amat erat kaitannya dengan sebab antropogenik (man-made), yaitu perubahan kondisi DAS. Perladangan berpindah dengan masa rotasi yang singkat, pengelolaan agroekosistem lahan yang minim upaya konservasi, masifnya system ternak lepas dengan minim pengawasan, dan kebiasaan membakar pada periode tertentu (late fire burning) merupakan segelintir contoh perubahan kondisi DAS oleh manusia.

TANAH LONGSOR (LANDSLIDE)

Untuk tipe bencana tanah longsor ini, terdapat 4 faktor yang menentukan bahaya tanah longsor, yaitu (1) formasi geologi, (2) litologi (batu-batuan), (3) bentuk lahan, (4) elevasi kelerengan, dan (5) penutupan vegetasi. Apabila dibandingkan dengan data pada aspek biofisik antara lain kondisi kemiringan lereng DAS Benain yang didominasi kelas lereng agak curam s/d curam (26-40%), bentuk lahan perbukitan dan pegunungan yang dominan (dengan akumulasi > 50% dari total bentuk lahan DAS Noelmina), serta penutupan lahan yang amat dominan dalam bentuk formasi semak belukar (71,35 % dari total penutupan lahan DAS Noelmina) menyiratkan ancaman bahaya tanah longsor yang dapat mengancam wilayah DAS Noelmina, terutama pada kawasan hulu DAS yang memiliki bentang alam yang relative pegunungan dan lereng. Bencana longsor di DAS Noelmina banyak terjadi pada daerah yang memiliki kelerengan yang curam dan memiliki penutupan vegetasi yang buruk, serta longsor pada talud sungai.

Selain itu, tren pertambangan (galian B dan C) yang saat ini amat marak dilakukan hampir di sejumlah lokasi di Timor, termasuk kawasan DAS Noelmina, semakin menambah tingginya derajat bahaya bencana tanah longsor. Hal ini disebabkan amat minimnya ditemui pertambangan yang disertai upaya konservasi yang maksimal. Apalagi pertambangan tidak hanya dilakukan dalam skala makro oleh perusahaan-perusahaan tambang, tetapi juga dilakukan dalam skala mikro yaitu oleh masyarakat pada lahan-lahan milik pribadi (data primer survey desa DAS Noelmina, 2011). Selain itu, dari sumber data yang sama ditemukan fakta bahwa penambangan yang dilakukan secara manual dan dengan teknologi yang seadanya oleh masyarakat amat rentan terjadi kecelakaan. Sebagai contoh, pada tahun ini di desa Oehela (sub DAS Boentuka), 2 warga meninggal akibat tertimbun tanah saat dilakukan penggalian mangan.

KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

Dalam UU 24/2007, kebakaran hutan dan lahan tidak terkategori sebagai salah satu bencana alam, tetapi apabila mengacu pada terminology bencana, baik dalam UU 24/2007 maupun menurut ISDR (2007), kebakaran hutan dan lahan termasuk dalam salah satu bencana yang terkategori sebagai bencana alam (natural disaster). Selain itu, untuk kasus DAS Noelmina atau bahkan pulau Timor secara keseluruhan, maka kebakaran hutan dan lahan amat relevan disebut sebagai bencana pada DAS Noelmina. Hal ini disebabkan karena dampak dari kebakaran hutan dan lahan yang dapat sejumlah ekses negatif bagi lingkungan. Meski demikian, terdapat sisi menarik dari kebakaran bagi orang Timor, dimana kebakaran memiliki justifikasi yang amat kuat dipandang dari aspek ekonomi, cultural dan pengelolaan agroekosistem lahan. Oleh karena itu, amat sulit dipisahkan api (baca : kebakaran) dan masyarakat Timor (Riwu Kaho, 2005). Sehingga orang Timor memiliki sejumlah alasan untuk pembenaran api dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, kebakaran hutan dan lahan merupakan fenomena jamak yang selalu hadir pada periode tertentu dalam setahun. Selain itu, bentuk penutupan lahan yang amat dominan semak belukar, savanna dan pertanian lahan kering campuran amat rentan terhadap kebakaran.

Meski demikian, kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kebakaran merupakan ancaman bagi sustainabilitas lingkungan DAS Noelmina. Kebakaran akan merusak vegetasi terutama pada fase seedling dan sapling sehingga dapat menghambat suksesi vegetasi hingga menjauh dari bentuk klimaks vegetasi menjadi formasi semak belukar yang dicirikan dengan dominannya spesies vegetasi invasi atau gulma, kerusakan pada sifat fisik dan kimia tanah serta mikro dan makro-organisme tanah, mempengaruhi kualitas dan kuantitas air, dan berkontribusi pada emisi udara akibat asap dan abu pembakaran. Kerusakan lingkungan pada akhirnya dapat berdampak menggangu kehidupan dan penghidupan manusia, salah satunya dari aspek ekonomi.

KONFLIK PEMANFAATAN RUANG DAN SUMBERDAYA ALAM

Berbicara mengenai bencana konflik pemanfaatan ruang pada DAS Noelmina, maka tidak terlepas dari dua isu utama, yaitu penguasaan lahan (land tenure) dan fakta sumberdaya alam dalam keadaan yang terbatas. Logikanya adalah konflik atau persaingan tidak akan terjadi ketika sumberdaya alam dalam keadaan yang tercukupi. Selain itu, persaingan juga tidak akan terjadi ketika penguasaan lahan tidak dalam keadaan yang terbatas. Sebagai contoh, pola pemeliharaan ternak yang amat kental dengan cara melepas ternak dalam kawasan hutan dalam pola yang semi intensif dan bahkan tidak jarang dalam pola yang amat intensif dengan pengawasan yang minim, serta tumpang-tindihnya status kawasan dimana tidak jarang pada kawasan hutan diklaim sebagai kawasan milik pemerintah dan hutan adat sekaligus. Selain itu, kasus perambahan Cagar Alam Gunung Mutis (DAS hulu) merupakan salah satu contoh kasus land tenure pada kawasan DAS Noelmina. Dimana perambahan terjadi disebabkan karena minimnya akses masyarakat terhadap sumberdaya alam guna memenuhi kebutuhan sehari-hari (subsisten) dan tujuan ekonomis. Hal ini berdampak pada luasan kawasan hutan, padang rumput, dan tanah ladang semakin berkurang. Tetapi di sisi lain, kawasan pemukiman, kebun, dan semak belukar semakin meningkat. Lebih lanjut dari sumber data yang sama terungkap penguasaan lahan yang minim menjadi alasan utama perambahan tersebut.

Di sisi lain, konflik pemanfaatan ruang dan sumberdaya alam dewasa ini semakin sering terjadi seiring maraknya pertambangan di seluruh wilayah di Timor, tidak terkecuali pada daerah-daerah pada DAS Noelmina. Alasan menjamurnya pertambangan digembar-gemborkan sebagai salah satu sarana untuk mensejahterakan masyarakat local dan peningkatan PAD seakan menjadi paradox dengan kenyataan di lapangan. Kerusakan lingkungan, perijinan tambang yang bermasalah, praktek penambangan di luar ijin konsesi makin menambah carut-marut konflik di DAS Noelmina.

Bahkan dewasa ini pertambangan tidak jarang memicu konflik tidak hanya antara pihak perusahaan dengan masyarakat, tetapi juga konflik horizontal antar masyarakat yang pro dan kontra tambang. Lynch & Harwell (2006), menyatakan seringkali masyarakat lokal mempertimbangkan CBPRs (Community-Based Property Rights) atau hak-hak kepemilikan berbasis masyarakat untuk diperluas secara vertical (termasuk sumberdaya alam di bawah permukaan tanah) dan horizontal. Inilah yang kemudian memicu konflik masyarakat dengan pihak perusahaan (investor) mengenai siapa pemilik sebenarnya sumberdaya tambang. Fenomena “Obama” (singkatan dari Ojek Bawa Mangan) meski sepintas terdengar lucu, tetapi dapat menjadi cerminan tentangan masyarakat terhadap pihak-pihak yang dianggap memonopoli sumberdaya alam di kawasan mereka sendiri.

Hasil survey desa DAS Noelmina (2011) juga ditemui adanya peningkatan konflik social akibat adanya penambangan seperti harga mangan yang sangat rendah dengan system pembagian yang tidak memuaskan, penyerobotan dan gugatan terhadap tanah hak milik warga yang berpotensi atau terkandung mangan oleh oknum-oknum tertentu (sebagian besar oleh oknum yang selama waktu sebelumnya tidak pernah diketahui identitas dan bukti kepemilikannya). Hal ini menimbulkan keresahan, gap atau ketidakharmonisan antar masyarakat setempat yang sudah terjalin baik secara turun temurun.


ELABORASI BAHAYA, KERENTANAN DAN KAPASITAS TERHADAP 
RESIKO BENCANA PADA DAS NOELMINA






Tidak ada komentar: