(Rabu,
03 Maret 2010), Kelestarian cagar alam hutan Mutis-Timau di Kabupaten
Timor Tengah Selatan, NTT, mulai terancam karena pola penggunaan sumber
daya secara tradisional seperti ...
KUPANG/WWW.NTTPROV.GO.ID >
Kelestarian cagar alam hutan Mutis-Timau di Kabupaten Timor Tengah
Selatan, NTT, mulai terancam karena pola penggunaan sumber daya secara
tradisional seperti penggembalaan ternak secara bebas dan perladangan
berpindah bersistem tebas bakar.
"Saya sangat mengkhawatirkan
kondisi cagar alam hutan Mutis bisa menimbulkan entropi lingkungan,"
kata Dr L Michael Riwu Kaho, pengamat ilmu kehutanan dari Fakultas
Peternakan Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Nusa Tenggara Timur
(NTT), Rabu. Berdasarkan hasil penelitiannya, kawasan cagar alam
Mutis-Timau mencapai sekitar 87.000 hektare, dan telah ditetapkan
sebagai kawasan inti cagar alam yang harus dilindungi dan terbebas dari
upaya eksploitasi sumber daya alam (SDA).
Namun, secara
tradisional, ujarnya, kawasan tersebut telah dihuni oleh sekelompok
populasi dari etnolinguistik tertentu, yakni Atoin Meto, yang menganggap
bahwa daerah Mutis dan sekitarnya adalah ruang hidup mereka.
"Untuk
mempertemukan dua kepentingan ini merupakan suatu dinamika etika
lingkungan yang bersifat dilematik, karena dua kepentingan tersebut
memiliki dinamika yang terkadang bertabrakan secara diametral," ujarnya.
Di
satu sisi, kata Riwu Kaho, hutan Mutis harus di lindungi, akan tetapi
dinamika perkembangan populasi dan cara-cara pemenuhan kebutuhan bahan
makanannya membutuhkan kawasan hutan Mutis sebagai sumberdaya.
"Dalam
situasi dilematis seperti ini kelestarian cagar alam hutan Mutis
menjadi terancam karena pola penggunaan sumberdaya secara tradisional,
antara lain penggembalaan bebas dan perladangan tebas bakar, yang
dikhawatirkan dapat menimbulkan entropi lingkungan," katanya.
Data
yang diperoleh dari Forum Daerah Aliran Sungai (DAS) NTT menunjukkan
bahwa cagar alam hutan Mutis merupakan daerah tangkapan air (hulu) bagi
dua DAS besar di Timor Barat, yakni DAS Benenain seluas sekitar 384.331
hektare dan DAS Noelmina seluas sekitar 191.037 hektare.
Dengan
demikian, sebagian besar tata air permukaan di Timor Barat diatur oleh
hubungan antara hutan cagar alam Mutis dan daerah tengah serta hilir dua
DAS besar tersebut.
Riwu Kaho dalam suatu penelitian
menyebutkan, berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) 1983, luas
kawasan cagar alam Mutis mencapai 12.000 hektare, terdiri dari beberapa
desa kantung (enclave) dan non enclave serta kawasan pelestarian yang
berada pada ketinggian 2.427 meter dari permukaan laut.
Sebagai
perbandingan, luas hutan di Timor Barat hanya 240.109.178 hektare (14,65
persen) di mana yang tergolong sebagai hutan primer kering tidak lebih
dari 6,15 persen, katanya.
Sementara data dari Forum DAS NTT menunjukan bahwa hutan di seluruh DAS Benenain-Noelmina hanya sekitar 11 persen.
"Jika
jumlah luas kawasan hutan ini dibandingakan dengan ketentuan yang ada
di dalam UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan maka hutan di Timor Barat
sudah dalam keadaan kritis, dan hutan Mutis merupakan salah satu
bentang terakhir kawasan hutan di Timor Barat," katanya.
Sebuah
peta lahan kritis yang dirilis Badan Pengelola DAS NTT menunjukkan bahwa
luas lahan kritis di sekitar hutan cagar alam Mutis mendekati angka
80-an persen.
Sebuah survey yang dilakukan oleh WWF pada 2003
memberikan petunjuk kuat bahwa hutan dan lahan di kawasan hutan cagar
alam Mutis mengalami tekanan yang berat karena penggembalaan bebas,
illegal logging dan kebakaran hutan.
"Saya juga pernah melakukan
penelitian pada 2005 yang memberikan petunjuk bahwa kendati tingkat
kesejahteraan penduduk di sekitar hutan cagar alam Mutis berada di atas
garis kemiskinan akan tetapi kerentanan lingkungan telah berada di
ambang batas daya dukung (carryng capacity)," katanya.
Ia
menambahkan ekstensifikasi pertanian dapat berujung pada kehancuran
ekosistem hutan cagar alam Mutis dalam 20-30 tahun mendatang.
(T.L003/B/D009/D009) 03-03-2010 16:07:38 NNNN
Copyright © ANTARA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar