Jumat, 02 Maret 2012

PERMASALAHAN AIR BERSIH DI KOTA KUPANG DAN IMBAL JASA LINGKUNGAN by Ir. A.A. Nalle, M.Si


Persoalan air bersih tampaknya bukan semata merupakan persoalan spesifik warga Kota Kupang. Hal ini kuat dibuktikan dengan pencanangan tahun 2003 yang lalu sebagai “Tahun Air Internasional” oleh badan Perserikatan Bangsa Bangsa. Ini sekaligus mencerminkan tentang betapa besarnya perhatian terhadap persediaan air bersih bagi penduduk dunia yang terus bertambah. Bahkan apabila dibanding dengan minyak bumi, saat ini air sudah dianggap sebagai sumberdaya yang akan menjadi sangat langka bagi masa depan planet bumi.
 
Pertanyaannya, mengapa sehingga air menjadi begitu penting ?. Ada banyak alasan dan penjelasan yang bisa dikemukakan, akan tetapi secara tegas beberapa faktor penyebab kelangkaan antara lain disebabkan pertambahan jumlah penduduk yang berimplikasi terhadap permintaan air bersih yang terus meningkat, perluasan kawasan terbangun khususnya untuk permukiman, pengembangan prasarana dan sarana wilayah, perubahan aspek demografis dan geografis, dan lain sebagainya.  Dengan meningkatnya kebutuhan air bersih di satu sisi dan berkurangnya air bersih yang dapat dimanfaatkan di sisi yang lain, menyebabkan tekanan terhadap sumber-sumber air dan pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya kelangkaan air. Pada saat air semakin langka maka persaingan untuk memiliki, menguasai, memanfaatkan dan mengelola air juga akan meningkat. Hal semacam ini seringkali memicu berbagai konflik dan bahkan menjadi fokus perhatian baik di tingkat lokal, regional, nasional bahkan internasional. Tekanan-tekanan seperti itu pada akhirnya akan dirasakan di DAS sebagai penyedia air dan juga berbagai jenis jasa lingkungan lainnya.
Suatu barang atau jasa akan bernilai apabila ketersediaannya berada dalam jumlah dan kontinuitas yang langka. Hal ini pun berlaku pada sumberdaya air yang mau tidak mau pada kondisi tertentu kita tidak memandangnya hanya sebagai satu sumberdaya alam semata yang oleh siapa saja berhak atasnya, akan tetapi harus dipandang sebagai suatu komoditas ekonomi yang langka dan bernilai. Implikasinya bahwa apabila air dipandang sebagai suatu komoditas ekonomi maka pembagian dan distribusinya haruslah mengikuti mekanisme pasar. Merespon kedua pandangan yang ada, maka pendekatan untuk mengatasinyapun haruslah tepat. Untuk kondisi yang pertama tampaknya bahwa peran pemerintah sangat dituntut melaui intervensi kebijakan, di mana pemerintah dianggap bertanggung jawab terhadap berbagai ketentuan mengenai penyediaan berbagai barang dan jasa yang berkaitan dengan air bersih. Pandangan Komite PBB untuk Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya pada tahun 2002 menegaskan tentang hak manusia atas air. Disebutkan bahwa negara/pemerintah harus menyediakan akses bagi rakyat dalam memperoleh air bersih, bertanggung jawab menghilangkan rintangan yang dihadapi dan memastikan bahwa semuanya tanpa diskriminasi untuk dapat menikmati akses tersebut. Dan jika harus adanya kompensasi, maka harga yang dibayarkan haruslah tidak akan mengganggu pemenuhan kebutuhan dasar lainnya. Dengan demikian hak atas air tersebut berarti bahwa bila terdapat individu atau kelompok yang tidak memperoleh air dalam jumlah yang cukup maka yang bersangkutan berhak memperoleh kompensasi yang dijamin dengan hukum (Freshwater Action Network, 2004 dalam Chandler, F.J C dan Suyanto, 2006).
Untuk kondisi yang kedua di mana air dipandang sebagai komoditas ekonomi, maka biarlah pasar yang akan menentukan bagaimana air dan jasa Daerah Aliran Sungai (DAS) lainnya dimanfaatkan secara efisien dengan harga yang paling tepat yang harus dibayarkan untuk pemanfataannya. Harus juga dipahami bahwa peran pemerintah untuk menyediakan hak masyarakat untuk mendapatkan layanan air kemudian janganlah diartikan secara linear bahwa perolehannya secara gratis. Tidaklah demikian, sebab pernyataan hak atas air tersebut tidak bertentangan dengan pengakuan air sebagai barang ekonomi. Kalau demikian pertanyaan lain yang tampaknya wajib diberikan sekaligus dicarikan solusinya adalah apakah pasar mampu mengatasi dan atau persoalan kelangkaan air ?. Menjawab pertanyaan ini haruslah ditelusuri fakta tentang penyediaan air bagi masyarakat selama ini. Berbagai kekurangan air yang didistribusikan melalui peran pemerintah, akibat pemerintah terkadang tidak mampu secara baik menyediakan kebutuhan air bersih bagi seluruh lapisan/strata masyarakat, terlebih masyarakat miskin. Bahkan insentif yang tidak jelas, birokrasi yang tidak efisien serta berupaya mengejar keuntungan seringkali masih mewarnai pengelolaan dan penyediaan air bersih bagi masyarakat. Demikian juga ketika pemerintah mengambil peran untuk secara total turut campur tangan dalam penentuan harga dan keuntungan, merupakan biang munculnya distorsi pasar yang semakin akut.
Memahami kondisi ini, muncul pemikiran bahwa kombinasi regulasi dan pendekatan berbasis pasar diharapkan dapat dan mampu mengatasi persoalan penyediaan air bersih bagi masyarakat banyak. Akan tetapi pada akhirnya pendekatan pasar justru yang lebih dominan dan semakin sering digunakan. Namun demikian terkadang muncul bahwa pasar tidak dapat secara adil memberikan kompensasi terhadap mereka yang menjadi penyedia eksternalitas positif (dalam hal ini masyarakat hulu/kawasan tangkapan air) karena tidak adanya kejelasan tentang hak penguasaan lahan atau persyaratan legal formal lainnya yang dapat dijadikan acuan bagi setiap pembayaran jasa lingkungan air yang akan dilakukan. Di samping itu bahwa tidak seperti komoditi ekonomi lainnya, air bersih dan juga jasa DAS lainnya tidak dapat dibeli atau dijual sama seperti barang normal lainnya, sehingga pasar tidak memperoleh gambaran yang jelas tentang persediaan (supply) yang ada untuk melakukan distribusi secara adil. Selain itu alasan lain adalah sering muncul campur tangan ke dalam pasar dan penilain terhadap fungsi DAS yang tidak tepat dan tidak lengkap. Eksternalitas positif adalah dampak positif yang diberikan oleh masyarakat hulu sebagai penyedia dan penjaga kelestarian kawasan tangkapan air (catchment area) dari berbagai akibat kerusakan dan penurunan kualitas lingkungan seperti bahaya erosi, banjir di wilayah hilir dan penurunan kualitas air. Dengan demikian kedudukan dan peran masyarakat hulu menjadi sangat penting, manakala kita menginginkan terjadinya keberlanjutan penyediaan air bersih.
Terkait pentingnya pengelolaan sumber air bersih serta dianalogkan dengan kondisinya saat ini di Kota Kupang seharusnya pemahaman ini juga merupakan milik kita semua. Mengapa demikian ? Sudah tentu simpel penjelasannya. Kita selama ini yang nota bene tinggal dan bermukim di bagian hilir Kota Kupang sebenarnya adalah “penikmat” sumberdaya air bersih yang telah disediakan oleh mereka yang bermukim dan menjaga bagian wilayah hulu dari satuan wilayah DAS Kupang. Apakah kita semua yang adalah konsumen air bersih (baik sebagai pelanggan PDAM dan pengguna air tanah) di wilayah hilir Kota Kupang telah membayar sesuai dengan nilai air bersih yang sebenarnya. Ataukah mungkin saja nilai air yang kita bayar terlampau berlebihan (over value) atau mungkin masih kurang (under value). Selanjutnya, apakah nilai air yang selama ini telah dibayar oleh konsumen air bersih Kota Kupang, telah mampu ditransmisikan untuk mengkompensasi berbagai korbanan yang dikeluarkan oleh para penyedia jasa tersebut dalam hal ini pemukim di wilayah hulu, agar mereka mau dan senantiasa menjaga kelestarian bagian wilayah tersebut. Kelestarian wilayah DAS penting mengingat dalam konsep tata air bahwa keterpenuhan dan keberlanjutan suplai air bersih sangat tergantung dari seberapa besar kita mampu menjaga wilayah hulu DAS yang dalam hal ini merupakan kawasan tangkapan air.
Dalam banyak kasus, upaya penerapan biaya untuk perlindungan sumber air sering tidak diperhitungkan kedalam harga air yang harus dibayar oleh konsumen. Biasanya harga air secara maksimal hanya dihitung dari biaya penyediaan (delivery cost). Atau dengan kata lain bahwa keuntungan hidrologis (hydrological benefits) yang berarti bila ekonomi perlindungan DAS, tidak diperhatikan dan tidak terefleksi dalam penentuan harga air. Dengan mengabaikan prinsip yang seharusnya diiterapkan, maka sebenarnya para pengguna lahan di daerah hulu DAS akan cenderung memilih cara pemanfaatan lahan yang dirasakan paling mampu memberikan keuntungan ekonomis secara langsung dan segera. Perwujudan aktual khususnya yang terjadi di wilayah pinggiran (hinterland area) Kota Kupang saat ini yang nota bene adalah bagian hulu DAS Kupang adalah alih fungsi lahan yang cukup intensif. Hal ini sebagai konsekuensi dari tingkat perkembangan Kota Kupang yang cukup pesat sehingga mendorong untuk terjadinya pengalihan kejenuhan aktivitas perkotaan ke arah pinggiran. Kondisi ini sebenarnya tidak menimbulkan masalah jika sistem penataan ruang telah di rencanakan secara baik serta dikombinasi dengan sistem pengawasan yang baik pula. Yang muncul bahwa alih fungsi lahan dari ruang terbuka hijau untuk menjadi kawasan terbangun tidak diikuti dengan upaya-upaya pelestarian lingkungan kawasan pinggiran. Akibat yang muncul bahwa ancaman kelestarian lingkungan kawasan pinggiran semakin parah yang pada gilirannya berdampak pada kemunduran fungsinya untuk menjaga keseimbangan tata air Kota Kupang dan sekitarnya.
Menjawab persoalan yang ada, kiranya kedepan dan diperkirakan ini merupakan suatu alternatif pilihan bagi pimpinan wilayah dan atau pemerintah Kota Kupang, lembaga terkait, LSM dan pemerhati lingkungan untuk duduk bersama membahas, mendiskusikan dan menemukan solusi yang paling efisien dan efektif dan berdampak jangka panjang. Salah satu program yang mungkin bisa diterapkan adalah pengenalan dan penerapan program “Kesetaraan Imbal Jasa Lingkungan DAS (Equitable Payments Watershed Services / EPWS)”. Program EPWS ini juga pada hakekatnya adalah upaya untuk  mentransfer manfaat yang selama ini telah dirasakan oleh para penikmat/konsumen jasa lingkungan air bersih dalam bentuk kesediaan untuk membayar (willingness to pay) bagi para penyedia jasa lingkungan air dalam wujud kesediaan untuk menerima (willingness to accpet), dalam hal ini mereka yang bermukim di wilayah hulu DAS. Program ini penting terlebih saat ini pengguna air bersih yang menjadi pelanggan PDAM maupun non-PDAM di Kota Kupang sumber air yang digunakan, wilayah tangkapan air secara geografis dan administratif berada di wilayah Kabupaten Kupang. Sehingga kerjasama antar daerah (KAD) yang secara operasional dikembangkan melalui BLUD-SPAM yang dikoordinir oleh Pemerintah Provinsi merupakan jalan keluar penting untuk dilanjutkan. Akan tetapi juga bahwa perlu diperluas serta dikombinasi dengan penerapan EPWS tersebut.   Dalam desain program ini masyarakat di kawasan hulu DAS dilibatkan dalam berbagai program pemberdayaan dan pelestarian lingkungan DAS. Termasuk bagaimana mengembangkan kegiatan-kegiatan produktif yang melibatkan masyarakat, pengembangan dan restorasi kawasan hutan, pengembangan bagunan teknis untuk konservasi air, serta berbagai kegiatan lainnya yang pada prinsipnya dapat menunjang dan menjaga kelestarian wilayah hulu DAS. 
Untuk memperoleh solusi yang ditawarkan dalam wujud program dan kegiatan yang ada, tentunya kajian-kajian pendahuluan perlu dibuat. Kajian dimaksud dan dirasa penting terkait dengan aspek hidrologis, sosiologis dan ekonomi baik studi tentang sumber dan sebaran mata pencaharian masyarakat hulu serta studi manfaat-biaya tentang pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya di wilayah hulu DAS. Pertanyaan bagi kita, mengapa sesulit ini kita harus mengurus persoalan kelangkaan air bersih di Kota Kupang, sehingga harus kita menerapkan program yang membutuhkan biaya, waktu dan tenaga yang cukup besar, bahkan melibatkan multipihak untuk penanganannya ?. Jawaban atas pertanyaan ini karena memang untuk mendapatkan manfaat yang besar sudah barang tentu dibutuhkan sejumlah korbanan yang besar pula. Demikian juga manfaat lebih dan bersifat jangka panjang sudah harus menjadi pilihan apabila kita mengaharapkan jaminan penyediaan dan keberlanjutan suplai air bersih bagi warga Kota Kupang.
Sebagai gambaran hasil penelitian tentang kesediaan untuk membayar (willingness to pay/WTP) konsumen air bersih di Kota Kupang pada tahun 2008, diperoleh bahwa ada kecenderungan konsumen air bersih di Kota Kupang untuk membayar nilai air bersih lebih besar yang dibayarkan saat itu. Kisaran kesediaan untuk membayar iuran air bersih yang diperoleh apabila adanya upaya perbaikan kualitas dan kuantitas suplai air bersih dari pegelola (dalam hal ini pemerintah) melalui PDAM Kota Kupang maupun PDAM Kabupaten Kupang yaitu antara Rp.500,- s/d Rp.7.500,-/m3 air, atau rata-rata Rp.2.911,-/m3, atau masih  lebih besar dibanding harga air yang dipasarkan melalui PDAM Kabupaten Kupang saat itu sebesar Rp.2.100,-/m3 (setelah dirata-ratakan dari klasifikasi tarif yang berlaku). Bahkan secara proporsional, konsentrasi jawaban responden konsumen pemakai air tentang kesediaan membayar (WTP) dari jumlah penggunaan air umumnya berkisar pada nilai Rp.5.000,-/m3 (26,79%); Rp.3.000,-/m3 (17,86%) dan Rp.1.500,-/m3 (12,50%). Sementara jawaban responden dengan besaran lainnya seperti di bawah Rp.1.500,- dan di atas Rp.5.000,- menempati proporsi yang lebih rendah. Fenomena ekonomi atas kecenderungan lebih tingginya kesediaan membayar konsumen air bersih di Kota Kupang dibanding tarif air yang berlaku saat itu, jika dan hanya jika adanya upaya dari pemerintah untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas dan jangkauan pelayanan yang dilaksanakan.
Landell-Mills dan Poras (2002) serta Conservation Alliance (2003) yang disitir Chandler, F. J. C dan Suyanto (2006) mengemukakan beberapa keuntungan yang dapat diraih dengan penerapan program EPWS, di antaranya: meningkatkan dan menjaga kualitas air; pengalokasian suplai air secara lebih efisien; mengurangi biaya kesehatan tambahan (secondary health cost); memberikan layanan yang diperlukan pengguna dengan cara yang lebih murah bila dibandingkan dengan pendekatan kebijakan atau pengawasan; berpotensi sebagai sumber pendapatan dalam jangka waktu yang lama/berkelanjutan yang diperlukan untuk melindungi kawasan termasuk ekosistem kritis; diakuinya nilai ekonomis dan ekologis DAS; mengurangi gap urban-rural dan meningkatkan pemerataan; memberikan kesempatan untuk pengembangan mekanisme pengaturan yang lebih partisipatif dan kooperatif yang akan memberikan dampak positip yang bersifat sosial yang lebih luas; penyedia jasa ekosistem akan memperoleh kompensasi; peningkatan kapasistas masyarakat melalui pengembangan keterampilan dalam praktik pemanfaatan lahan, manajemen dan kesempatan usaha baru yang mungkin; peningkatan kesempatan rekreasi dan kebudayaan, dan penyediaan potensi pasar yang sangat besar untuk jasa DAS dan hidrologi (hydrological and watershed services market). Gambaran keuntungan yang bisa diraih melalui pengembangan EPWS kiranya menjadi acuan yang penting apabila kita berharap meraih manfaat lebih dari upaya pengembangan dan penyediaan air bersih di Kota Kupang kedepan dengan dimensi waktu panjang kedepan. Dan sudah barang tentu upaya penyelamatan kawasan tangkapan air Kota Kupang melalui pengembangan berbagai kebijakan, program dan kegiatan dengan mengedepankan kepentingan masyarakat harus menjadi fokus perhatian pemerintah Kota Kupang saat ini.
Tidak berapa lama lagi hanya dalam hitungan bulan Kota Kupang akan memiliki pemimpin yang baru. Akankah permasalahan air bersih harus menjadi pekerjaan rumah yang tidak pernah terselesaikan ?. Ataukah memang, biarlah air bersih harus menjadi suatu komoditi, yang mana pada setiap pergantian pimpinan Kota Kupang akan menjadi komoditi politik andalan yang akan memperkuat posisi tawar para calon nantinya ? Ataukah memang permasalahan air bersih harus diselesaikan tuntas karena sumberdaya ini menjadi hak asasi setiap individu yang bermukim di wilayah ini ?. Semua pertanyaan ini kita kembalikan kepada setiap pemimpin wilayah ini untuk mau membuka hati agar rela menemukan solusi terbaik dalam mengatasi permasalahan penyediaan air bersih, sehingga setiap warga di kota Kupang dapat menikmatinya karena mereka memang berhak untuk menikmatinya.

Tidak ada komentar: