Persoalan
air bersih tampaknya bukan semata merupakan persoalan spesifik warga Kota
Kupang. Hal ini kuat dibuktikan dengan pencanangan tahun 2003 yang lalu sebagai
“Tahun Air Internasional” oleh badan
Perserikatan Bangsa Bangsa. Ini sekaligus mencerminkan tentang betapa besarnya
perhatian terhadap persediaan air bersih bagi penduduk dunia yang terus
bertambah. Bahkan apabila dibanding dengan minyak bumi, saat ini air sudah
dianggap sebagai sumberdaya yang akan menjadi sangat langka bagi masa depan
planet bumi.
Pertanyaannya,
mengapa sehingga air menjadi begitu penting ?. Ada banyak alasan dan penjelasan
yang bisa dikemukakan, akan tetapi secara tegas beberapa faktor penyebab
kelangkaan antara lain disebabkan pertambahan jumlah penduduk yang berimplikasi
terhadap permintaan air bersih yang terus meningkat, perluasan kawasan
terbangun khususnya untuk permukiman, pengembangan prasarana dan sarana
wilayah, perubahan aspek demografis dan geografis, dan lain sebagainya. Dengan meningkatnya kebutuhan air bersih di
satu sisi dan berkurangnya air bersih yang dapat dimanfaatkan di sisi yang lain,
menyebabkan tekanan terhadap sumber-sumber air dan pada akhirnya akan
menyebabkan terjadinya kelangkaan air. Pada saat air semakin langka maka
persaingan untuk memiliki, menguasai, memanfaatkan dan mengelola air juga akan
meningkat. Hal semacam ini seringkali memicu berbagai konflik dan bahkan
menjadi fokus perhatian baik di tingkat lokal, regional, nasional bahkan
internasional. Tekanan-tekanan seperti itu pada akhirnya akan dirasakan di DAS
sebagai penyedia air dan juga berbagai jenis jasa lingkungan lainnya.
Suatu
barang atau jasa akan bernilai apabila ketersediaannya berada dalam jumlah dan
kontinuitas yang langka. Hal ini pun berlaku pada sumberdaya air yang mau tidak
mau pada kondisi tertentu kita tidak memandangnya hanya sebagai satu sumberdaya
alam semata yang oleh siapa saja berhak atasnya, akan tetapi harus dipandang sebagai
suatu komoditas ekonomi yang langka dan bernilai. Implikasinya bahwa apabila
air dipandang sebagai suatu komoditas ekonomi maka pembagian dan distribusinya
haruslah mengikuti mekanisme pasar. Merespon kedua pandangan yang ada, maka
pendekatan untuk mengatasinyapun haruslah tepat. Untuk kondisi yang pertama
tampaknya bahwa peran pemerintah sangat dituntut melaui intervensi kebijakan,
di mana pemerintah dianggap bertanggung jawab terhadap berbagai ketentuan
mengenai penyediaan berbagai barang dan jasa yang berkaitan dengan air bersih. Pandangan
Komite PBB untuk Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya pada tahun 2002 menegaskan tentang
hak manusia atas air. Disebutkan bahwa negara/pemerintah harus menyediakan
akses bagi rakyat dalam memperoleh air bersih, bertanggung jawab menghilangkan
rintangan yang dihadapi dan memastikan bahwa semuanya tanpa diskriminasi untuk dapat
menikmati akses tersebut. Dan jika harus adanya kompensasi, maka harga yang
dibayarkan haruslah tidak akan mengganggu pemenuhan kebutuhan dasar lainnya.
Dengan demikian hak atas air tersebut berarti bahwa bila terdapat individu atau
kelompok yang tidak memperoleh air dalam jumlah yang cukup maka yang
bersangkutan berhak memperoleh kompensasi yang dijamin dengan hukum (Freshwater Action Network, 2004 dalam
Chandler, F.J C dan Suyanto, 2006).
Untuk
kondisi yang kedua di mana air dipandang sebagai komoditas ekonomi, maka
biarlah pasar yang akan menentukan bagaimana air dan jasa Daerah Aliran Sungai
(DAS) lainnya dimanfaatkan secara efisien dengan harga yang paling tepat yang
harus dibayarkan untuk pemanfataannya. Harus juga dipahami bahwa peran
pemerintah untuk menyediakan hak masyarakat untuk mendapatkan layanan air
kemudian janganlah diartikan secara linear bahwa perolehannya secara gratis. Tidaklah demikian, sebab pernyataan hak atas air tersebut tidak
bertentangan dengan pengakuan air sebagai barang ekonomi. Kalau demikian pertanyaan
lain yang tampaknya wajib diberikan sekaligus dicarikan solusinya adalah apakah
pasar mampu mengatasi dan atau persoalan kelangkaan air ?. Menjawab pertanyaan
ini haruslah ditelusuri fakta tentang penyediaan air bagi masyarakat selama
ini. Berbagai kekurangan air yang didistribusikan melalui peran pemerintah,
akibat pemerintah terkadang tidak mampu secara baik menyediakan kebutuhan air
bersih bagi seluruh lapisan/strata masyarakat, terlebih masyarakat miskin.
Bahkan insentif yang tidak jelas, birokrasi yang tidak efisien serta berupaya
mengejar keuntungan seringkali masih mewarnai pengelolaan dan penyediaan air
bersih bagi masyarakat. Demikian juga ketika pemerintah mengambil peran untuk
secara total turut campur tangan dalam penentuan harga dan keuntungan,
merupakan biang munculnya distorsi pasar yang semakin akut.
Memahami kondisi ini,
muncul pemikiran bahwa kombinasi regulasi dan pendekatan berbasis pasar
diharapkan dapat dan mampu mengatasi persoalan penyediaan air bersih bagi
masyarakat banyak. Akan tetapi pada akhirnya pendekatan
pasar justru yang lebih dominan dan semakin sering digunakan. Namun demikian
terkadang muncul bahwa pasar tidak dapat secara adil memberikan kompensasi
terhadap mereka yang menjadi penyedia eksternalitas
positif (dalam hal ini masyarakat hulu/kawasan tangkapan air) karena tidak
adanya kejelasan tentang hak penguasaan lahan atau persyaratan legal formal lainnya
yang dapat dijadikan acuan bagi setiap pembayaran jasa lingkungan air yang akan
dilakukan. Di samping itu bahwa tidak seperti komoditi ekonomi lainnya, air
bersih dan juga jasa DAS lainnya tidak dapat dibeli
atau dijual sama seperti barang normal lainnya, sehingga pasar tidak memperoleh
gambaran yang jelas tentang persediaan (supply) yang ada untuk melakukan
distribusi secara adil. Selain itu alasan lain adalah sering muncul campur
tangan ke dalam pasar dan penilain terhadap fungsi DAS yang tidak tepat dan
tidak lengkap. Eksternalitas positif adalah dampak positif yang
diberikan oleh masyarakat hulu sebagai penyedia dan penjaga kelestarian kawasan
tangkapan air (catchment area) dari
berbagai akibat kerusakan dan penurunan kualitas lingkungan seperti bahaya
erosi, banjir di wilayah hilir dan penurunan kualitas air. Dengan demikian kedudukan
dan peran masyarakat hulu menjadi sangat penting, manakala kita menginginkan terjadinya
keberlanjutan penyediaan air bersih.
Terkait pentingnya pengelolaan sumber air bersih serta dianalogkan dengan
kondisinya saat ini di Kota Kupang seharusnya pemahaman ini juga merupakan
milik kita semua. Mengapa demikian ? Sudah tentu simpel penjelasannya. Kita
selama ini yang nota bene tinggal dan bermukim di bagian hilir Kota Kupang
sebenarnya adalah “penikmat”
sumberdaya air bersih yang telah disediakan oleh mereka yang bermukim dan
menjaga bagian wilayah hulu dari satuan wilayah DAS Kupang. Apakah kita semua
yang adalah konsumen air bersih (baik sebagai pelanggan PDAM dan pengguna air
tanah) di wilayah hilir Kota Kupang telah membayar sesuai dengan nilai air
bersih yang sebenarnya. Ataukah mungkin saja nilai air yang kita bayar
terlampau berlebihan (over value)
atau mungkin masih kurang (under value).
Selanjutnya, apakah nilai air yang selama ini telah dibayar oleh konsumen air
bersih Kota Kupang, telah mampu ditransmisikan untuk mengkompensasi berbagai
korbanan yang dikeluarkan oleh para penyedia jasa tersebut dalam hal ini
pemukim di wilayah hulu, agar mereka mau dan senantiasa menjaga kelestarian
bagian wilayah tersebut. Kelestarian wilayah DAS penting mengingat dalam konsep
tata air bahwa keterpenuhan dan keberlanjutan suplai air bersih sangat
tergantung dari seberapa besar kita mampu menjaga wilayah hulu DAS yang dalam
hal ini merupakan kawasan tangkapan air.
Dalam banyak kasus, upaya penerapan biaya untuk
perlindungan sumber air sering tidak diperhitungkan kedalam harga air yang
harus dibayar oleh konsumen. Biasanya harga air secara maksimal hanya dihitung
dari biaya penyediaan (delivery cost).
Atau dengan kata lain bahwa keuntungan hidrologis (hydrological benefits) yang berarti bila ekonomi perlindungan DAS, tidak
diperhatikan dan tidak terefleksi dalam penentuan harga air. Dengan mengabaikan
prinsip yang seharusnya diiterapkan, maka sebenarnya para pengguna lahan di
daerah hulu DAS akan cenderung memilih cara pemanfaatan lahan yang dirasakan
paling mampu memberikan keuntungan ekonomis secara langsung dan segera.
Perwujudan aktual khususnya yang terjadi di wilayah pinggiran (hinterland area) Kota Kupang saat ini
yang nota bene adalah bagian hulu DAS Kupang adalah alih fungsi lahan yang
cukup intensif. Hal ini sebagai konsekuensi dari tingkat perkembangan Kota
Kupang yang cukup pesat sehingga mendorong untuk terjadinya pengalihan kejenuhan
aktivitas perkotaan ke arah pinggiran. Kondisi ini sebenarnya tidak menimbulkan
masalah jika sistem penataan ruang telah di rencanakan secara baik serta
dikombinasi dengan sistem pengawasan yang baik pula. Yang muncul bahwa alih
fungsi lahan dari ruang terbuka hijau untuk menjadi kawasan terbangun tidak
diikuti dengan upaya-upaya pelestarian lingkungan kawasan pinggiran. Akibat yang
muncul bahwa ancaman kelestarian lingkungan kawasan pinggiran semakin parah
yang pada gilirannya berdampak pada kemunduran fungsinya untuk menjaga
keseimbangan tata air Kota Kupang dan sekitarnya.
Menjawab persoalan yang ada, kiranya kedepan dan diperkirakan ini merupakan
suatu alternatif pilihan bagi pimpinan wilayah dan atau pemerintah Kota Kupang,
lembaga terkait, LSM dan pemerhati lingkungan untuk duduk bersama membahas,
mendiskusikan dan menemukan solusi yang paling efisien dan efektif dan
berdampak jangka panjang. Salah satu program yang mungkin bisa diterapkan
adalah pengenalan dan penerapan program “Kesetaraan
Imbal Jasa Lingkungan DAS (Equitable
Payments Watershed Services / EPWS)”. Program EPWS ini juga pada hakekatnya
adalah upaya untuk mentransfer manfaat
yang selama ini telah dirasakan oleh para penikmat/konsumen jasa lingkungan air
bersih dalam bentuk kesediaan untuk membayar (willingness to pay) bagi para penyedia jasa lingkungan air dalam
wujud kesediaan untuk menerima (willingness
to accpet), dalam hal ini mereka yang bermukim di wilayah hulu DAS. Program
ini penting terlebih saat ini pengguna air bersih yang menjadi pelanggan PDAM
maupun non-PDAM di Kota Kupang sumber air yang digunakan, wilayah tangkapan air
secara geografis dan administratif berada di wilayah Kabupaten Kupang. Sehingga
kerjasama antar daerah (KAD) yang secara operasional dikembangkan melalui
BLUD-SPAM yang dikoordinir oleh Pemerintah Provinsi merupakan jalan keluar penting
untuk dilanjutkan. Akan tetapi juga bahwa perlu diperluas serta dikombinasi
dengan penerapan EPWS tersebut. Dalam
desain program ini masyarakat di kawasan hulu DAS dilibatkan dalam berbagai
program pemberdayaan dan pelestarian lingkungan DAS. Termasuk bagaimana
mengembangkan kegiatan-kegiatan produktif yang melibatkan masyarakat,
pengembangan dan restorasi kawasan hutan, pengembangan bagunan teknis untuk
konservasi air, serta berbagai kegiatan lainnya yang pada prinsipnya dapat
menunjang dan menjaga kelestarian wilayah hulu DAS.
Untuk memperoleh solusi yang ditawarkan dalam wujud program dan kegiatan
yang ada, tentunya kajian-kajian pendahuluan perlu dibuat. Kajian dimaksud dan
dirasa penting terkait dengan aspek hidrologis, sosiologis dan ekonomi baik
studi tentang sumber dan sebaran mata pencaharian masyarakat hulu serta studi
manfaat-biaya tentang pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya di wilayah hulu DAS.
Pertanyaan bagi kita, mengapa sesulit ini kita harus mengurus persoalan
kelangkaan air bersih di Kota Kupang, sehingga harus kita menerapkan program
yang membutuhkan biaya, waktu dan tenaga yang cukup besar, bahkan melibatkan
multipihak untuk penanganannya ?. Jawaban atas pertanyaan ini karena memang
untuk mendapatkan manfaat yang besar sudah barang tentu dibutuhkan sejumlah
korbanan yang besar pula. Demikian juga manfaat lebih dan bersifat jangka
panjang sudah harus menjadi pilihan apabila kita mengaharapkan jaminan
penyediaan dan keberlanjutan suplai air bersih bagi warga Kota Kupang.
Sebagai gambaran hasil penelitian tentang kesediaan untuk
membayar (willingness to pay/WTP) konsumen air bersih di Kota Kupang pada tahun 2008, diperoleh bahwa ada
kecenderungan konsumen air bersih di Kota Kupang untuk membayar nilai air
bersih lebih besar yang dibayarkan saat itu. Kisaran kesediaan untuk membayar
iuran air bersih yang diperoleh apabila adanya upaya perbaikan kualitas dan
kuantitas suplai air bersih dari pegelola (dalam hal ini pemerintah) melalui PDAM
Kota Kupang maupun PDAM Kabupaten Kupang yaitu antara Rp.500,- s/d Rp.7.500,-/m3
air, atau rata-rata Rp.2.911,-/m3, atau masih lebih besar dibanding harga air yang
dipasarkan melalui PDAM Kabupaten Kupang saat itu sebesar Rp.2.100,-/m3
(setelah dirata-ratakan dari klasifikasi tarif yang berlaku). Bahkan secara proporsional,
konsentrasi jawaban responden konsumen pemakai air tentang kesediaan membayar (WTP) dari jumlah penggunaan air umumnya
berkisar pada nilai Rp.5.000,-/m3 (26,79%); Rp.3.000,-/m3
(17,86%) dan Rp.1.500,-/m3 (12,50%). Sementara jawaban responden
dengan besaran lainnya seperti di bawah Rp.1.500,- dan di atas Rp.5.000,-
menempati proporsi yang lebih rendah. Fenomena ekonomi atas kecenderungan lebih
tingginya kesediaan membayar konsumen air bersih di Kota Kupang dibanding tarif
air yang berlaku saat itu, jika dan hanya jika adanya upaya dari pemerintah
untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas dan jangkauan pelayanan yang
dilaksanakan.
Landell-Mills dan Poras (2002) serta Conservation
Alliance (2003) yang disitir Chandler, F. J. C dan Suyanto (2006)
mengemukakan beberapa keuntungan yang dapat diraih dengan penerapan program
EPWS, di antaranya: meningkatkan dan menjaga kualitas air; pengalokasian suplai
air secara lebih efisien; mengurangi biaya kesehatan tambahan (secondary health cost); memberikan
layanan yang diperlukan pengguna dengan cara yang lebih murah bila dibandingkan
dengan pendekatan kebijakan atau pengawasan; berpotensi sebagai sumber
pendapatan dalam jangka waktu yang lama/berkelanjutan yang diperlukan untuk
melindungi kawasan termasuk ekosistem kritis; diakuinya nilai ekonomis dan
ekologis DAS; mengurangi gap urban-rural dan meningkatkan pemerataan;
memberikan kesempatan untuk pengembangan mekanisme pengaturan yang lebih
partisipatif dan kooperatif yang akan memberikan dampak positip yang bersifat
sosial yang lebih luas; penyedia jasa ekosistem akan memperoleh kompensasi;
peningkatan kapasistas masyarakat melalui pengembangan keterampilan dalam praktik
pemanfaatan lahan, manajemen dan kesempatan usaha baru yang mungkin;
peningkatan kesempatan rekreasi dan kebudayaan, dan penyediaan potensi pasar
yang sangat besar untuk jasa DAS dan hidrologi (hydrological and watershed services market). Gambaran keuntungan
yang bisa diraih melalui pengembangan EPWS kiranya menjadi acuan yang penting
apabila kita berharap meraih manfaat lebih dari upaya pengembangan dan
penyediaan air bersih di Kota Kupang kedepan dengan dimensi waktu panjang
kedepan. Dan sudah barang tentu upaya penyelamatan kawasan tangkapan air Kota
Kupang melalui pengembangan berbagai kebijakan, program dan kegiatan dengan
mengedepankan kepentingan masyarakat harus menjadi fokus perhatian pemerintah
Kota Kupang saat ini.
Tidak berapa lama lagi hanya dalam hitungan bulan Kota Kupang akan memiliki
pemimpin yang baru. Akankah permasalahan air bersih harus menjadi pekerjaan
rumah yang tidak pernah terselesaikan ?. Ataukah memang, biarlah air bersih
harus menjadi suatu komoditi, yang mana pada setiap pergantian pimpinan Kota
Kupang akan menjadi komoditi politik andalan yang akan memperkuat posisi tawar
para calon nantinya ? Ataukah memang permasalahan air bersih harus diselesaikan
tuntas karena sumberdaya ini menjadi hak asasi setiap individu yang bermukim di
wilayah ini ?. Semua pertanyaan ini kita kembalikan kepada setiap pemimpin
wilayah ini untuk mau membuka hati agar rela menemukan solusi terbaik dalam
mengatasi permasalahan penyediaan air bersih, sehingga setiap warga di kota
Kupang dapat menikmatinya karena mereka memang berhak untuk menikmatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar