Norman P.L.B Riwu Kaho[1]
Daerah aliran sungai
(DAS/watershed/riverbasin) merupakan
suatu kawasan imajiner yang secara alamiah dibatasi oleh topografi gunung
ataupun bukit yang sama dimana memiliki satu penciri utama, yakni adanya satu
aliran sungai utama (Indarto, 2010). Mari kita tinggalkan sejenak distingsi
atau pertentangan mengenai DAS itu sendiri yang memandang DAS dari aspek yang
berbeda. Ada yang memandang DAS seperti definisi di atas, tetapi ada pula yang
memandang DAS hanyalah sebatas sungai dan Ka-Ki-Su semata alias
“kanan-kiri-sungai”. Sejenak pula mari kita tinggalkan kasus “apel malang” dan
“apel washington” yang marak dewasa ini. Tetapi, satu hal yang pasti ketika
alam telah “membentuk” DAS versinya sendiri disitulah letak kerumitan yang
jamak ditemui di lapangan.
Kompleksitas dalam
implementasi pengelolaan DAS antara lain terlihat dari begitu banyaknya “aktor”
yang berada dalam suatu wilayah DAS yang sama. Ada SKPD-SKPD yang berlainan
tupoksi serta wilayah “ke(se)wenang-wenangannya”, adapula lembaga non
pemerintahan, adapula masyarakat yang berada pada DAS tersebut. Ini belum lagi
ditambah dengan ketika DAS tersebut terletak pada wilayah yang berbeda secara
admistratif, contohnya Kabupaten atau bahkan Propinsi!!, maka sungguh sulit
dibayangkan betapa rumitnya pengelolaan DAS ini. Apalagi Asdak (2004),
mengatakan wilayah DAS dapat dipilah kedalam 3 wilayah utama, yakni DAS hulu,
tengah dan hilir. Bayangkan mengelola DAS berarti mesti dikelola mulai dari
hulu hingga hilir oleh karena keterkaitan secara biogeofisik maupun ekologis. Minta
ampun susahnya... Lihat saja satu paragraf ini habis hanya untuk menyatakan
bahwa sungguh sulit mengelola DAS dan bahkan belum menyentuh esensi dari isi tulisan.
Sekarang apa kaitan
pengelolaan DAS yang membuat peening... peening kepala (bacalah dengan logat
ala si Ruhut “poltak”) dengan isu kebencanaan ? Inilah yang kemudian mendorong
penulis mencoba meramu sebuah tulisan ringan (mungkin “seringan” tubuh si
penulis) dari apa yang telah dikerjakan dalam dokumen Perencaaan Pengelolaan
DAS Terpadu DAS Noelmina (2011) yang mana penulis merupakan salah satu anggota
tim penyusun dokumen tersebut. Dari definisi tentang bencana (disaster) itu sendiri merupakan suatu
“gangguan” yang serius terhadap masyarakat sehingga menyebabkan kerugian yang
besar terhadap kehidupan manusia dimana gangguan tersebut melebihi kemampuan
masyarakat untuk mengatasinya (ISDR, 2007). Ini dijelaskan oleh Smith &
Petley (2008), yang menyatakan suatu resiko bencana akan semakin besar ketika
terjadi ketimpangan antara ancaman (hazard),
kerentanan (vulnerability) dan
kapasitas/kemampuan (capacity). Atau
dengan kata lain, resiko bencana akan semakin tinggi ketika ancaman dan
kerentanannya tinggi, tetapi kapasitas atau kemampuannya rendah. Nah... ini dia
letak permasalahannya ketika dikaitkan isu bencana dengan DAS Noelmina. DAS ini
memiliki luasan sekitar 197.254 ha yang terletak pada dua wilayah administratif
sekaligus, yakni Kabupaten Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).
Dalam analisis yang dilakukan dalam aspek kebencanaan R-PDAS-T DAS Noelmina
(2011), baik melalui pengamatan lapangan maupun data-data sekunder, maka dapat
ditarik 2 kesimpulan, yaitu : (1) bencana yang terjadi didominasi bencana yang
disebabkan oleh pengelolaan lingkungan yang “salah”; dan (2) resiko bencana
amat tinggi karena ancaman bencana tinggi dan disertai kerentanan yang kompleks,
tetapi tidak ditunjang oleh kapasitas yang memadai.
Smith & Petley
(2008) menyatakan bahwa untuk menjustifikasikan tingginya suatu ancaman
bencana, maka dapat dilihat dari aspek magnitude
(ukuran atau intensitas) atau frekuensi (kekerapan) ancaman tersebut. Oleh
sebab itu, ancaman bencana yang terkategori sebagai annual event yang paling mungkin terjadi dalam wilayah DAS Noelmina
antara lain banjir, kekeringan, tanah longsor, dan wildfire yang terwujud dalam kebakaran hutan dan lahan yang
kesemuanya terkategori sebagai bencana alam. Sedangkan yang termasuk dalam
bencana non-alam pada DAS Noelmina adalah konflik pemanfaatan ruang dan
sumberdaya alam terutama yang berkaitan dengan isu-isu tambang yang masih
menjadi pro-kontra hingga saat ini.
Berbicara mengenai banjir dan kekeringan sebenarnya bukan suatu hal yang aneh. Dalam survey desa DAS Noelmina (2011) dan bahkan DAS Benain (2010), ditemui kedua ancaman bencana ini bahkan sudah dianggap biasa karena hampir setiap tahun pasti terjadi. Pola aliran pada DAS Noelmina yang bersifat intermittent paling tidak menguatkan dugaan ini. Atau dengan kata lain, ketika musim hujan berlimpah air (baca : banjir), namun ketika kemarau (drought), pasokan aliran dasar (base flow) amat rendah (baca : kekeringan). Ini ditandai dari nilai KRS (Koefisien Regim Sungai) yang besar dimana fluktuasi antara debit maksimum (Qmaks) atau limpasan saat musim hujan dan debit minimum (Qmin) saat kemarau sangat besar. Ini antara lain disebabkan oleh karena tipe iklim berdasarkan klasifikasi Scmidt-Ferguson yang tergolong tipe D (sedang) dan E (agak kering) serta sifat hujan yang eratik, tidak merata, dan cenderung mengumpul pada periode yang relatif singkat (± 3 s/d 4 bulan). Atau bisa pula karena memang lingkungan pada DAS Noelmina yang sulit dikatakan dalam kondisi yang baik. Sebagai contoh, tutupan vegetasi hutan kurang dari 11% dan ditambah lagi perambahan hutan untuk pembangunan infrastruktur, pertanian ladang berpindah yang masih menggunakan sistem tebas-bakar (slash & burn cultivation), sebagai areal penggembalaan lepas (free-grazing area) dengan sistem semi ekstensif dan terkadang amat ekstensif, dan masih banyak lagi. Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga dan digigit anjing pula. Pertanyaannya adalah anjing milik siapa itu yang menggigit ?? hehehehe.
Selain itu, bencana
tanah longsor pun sulit untuk terelakan. Kemiringan DAS yang didominasi kelas lereng yang tergolong curam (26-40%),
luasnya lahan kritis, dominannya topografi pegunungan dan perbukitan, luasnya
kawasan yang di identifikasi merupakan formasi semak-belukar (Riwu Kaho, 2005
menyatakan semak belukar sebenarnya representasi dari savanna khas Timor) yang amat rentan terhadap ancaman bencana
kebakaran hutan dan lahan merupakan beberapa contoh penyebab tingginya ancaman
ini. Selain itu, ancaman konflik dalam pemanfaatan sumberdaya alam berupa
galian B dan C mulai menampakan wajah yang sebenarnya. Isu tambang ini
sebenarnya masih berupa pro-kontra terkait dampak negatif yang ditimbulkannya,
tetapi mencermati hasil kajian World Rainforest Movement (2004) di berbagai
negara, termasuk Indonesia yang sampai pada satu kesimpulan utama “minning : more a curse than blessings”,
maka silahkan anda sendiri menerka kira-kira apa yang akan terjadi sebagai
akibat pertambangan jika ditelaah dari kacamata konservasi lingkungan.
Sekarang bagaimana
dengan kerentanan bencana (disaster
vulnerability) ? Kerentanan itu sendiri merupakan suatu kondisi yang
ditentukan oleh proses-proses atau factor fisik, social, ekonomi dan
lingkungan, dimana akan meningkatkan kerentanan atau melemahkan masyarakat
terhadap dampak dari ancaman bahaya (ISDR, 2007). Kerentanan pada DAS Noelmina
dapat dipilah kedalam beberapa aspek, yaitu kerentanan infrastruktur, ekonomis
dan social demografis, serta ekologis. Kerentanan infrastruktur misalnya, dalam
survey desa DAS Noelmina (2011) sangat mudah ditemukan pembangunan rumah di
daerah sempadan sungai yang seharusnya menjadi daerah konservasi. Selain itu,
ditemui pula infrastruktur seperti parit/got atau saluran drainase yang umumnya
hanya terdapat dalam 2 kondisi, yakni (1) tidak ada sama sekali infrastruktur
tersebut; dan (2) infrastruktur tersebut berada pada kondisi yang menyedihkan.
Kerentanan biofisik
seperti morphometri DAS dengan karakteristik meandering (berkelok-kelok) dan pola aliran sungai yang dendritik (banyak
percabangan) serta jenis tanah yang dominan yaitu kambisol (67,4%) cukup peka
terhadap erosi merupakan beberapa contoh pada aspek kerentanan biofisik. Nah...
Apabila berbicara mengenai kerentanan ekonomi, maka bisa dibayangkan kemungkinan
apa yang akan tersua di dalamnya. Tetapi, terdapat dua hal menarik bahwa meski
sektor pertanian sangat dominan (nilai Indeks Dominasi Sektor/IDS tinggi),
tetapi justru sektor ini tidak potensial dalam pertumbuhannya (nilai Indeks
Potensi Pertumbuhan Sektor/IPPS rendah). Selain itu, ditemui fakta pula yang
sedikit mengejutkan bahwa ternyata terjadi disparitas dari segi ekonomi wilayah
antara wilayah hulu dan hilir. Atau dengan kata lain dari segi ekonomi wilayah,
maka Kabupaten Kupang (tengah dan hilir) justru lebih baik daripada wilayah
hulu (Kabupaten TTS). Paradox bukan ? Sekarang bagaimana dengan kerentanan
sosial, demografis, dan ekologis ? ah... jangan kura-kura dalam perahu, pura-pura
tidak tahu. Pasti sudah bisa menebak kan ?
Bagaimana dengan nasib
aspek berikut, yaitu kapasitas atau kemampuan yang dimiliki untuk meredam atau
meminimalisasi bahaya serta kerentanan tadi ? Pada DAS Noelmina, kapasitas atau
kemampuan masyarakat dalam menghadapi bencana bisa dikatakan sangat minim.
Bahkan seringkali bencana-bencana seperti banjir, kebakaran hutan dan lahan,
longsor dan kekeringan tidak dipersepsikan sebagai bencana karena sudah teramat
sering terjadi ketika dampak yang ditimbulkan tidaklah terlalu masif. Namun
dari kapasitas yang minim tersebut dapat dicatat secara khusus antara lain kapasitas fisik, kapasitas kelembagaan, dan
kapasitas ekologis. Penulis sengaja tidak ingin menguraikan satu- persatu
kapasitas ini oleh karena selain kapasitas yang minim (atau kecil), juga
penulis sudah cukup lelah menulis hingga menjadi beberapa halaman sekaligus.
Hehehehe... Oleh karena itu, penulis mencukupkan tulisan ini sampai disini
dengan meminjam (dan memodifikasi) tagline
sebuah iklan, yakni “DAS Noelmina, sumber bencana su... dekat”. Penulis menduga
pasti dahi anda akan mengkerut pertanda bingung akan pernyataan penulis tersebut
dan kemudian bertanya “lho kok sama dengan judul” ? Kan sudah dibilang bahwa penulis
sudah capek... Capek... Cappeeeekkk.... Tabe
Tuan, tabe Puan. 

Tidak ada komentar:
Posting Komentar