Rabu, 29 Februari 2012

jangan menangisi keputusan MK tentang uji materi terhadap pasal 1 angka 3 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan by michael RK

Dear Sahabat DAS,

Sebuah keputusan penting dan luar biasa "menohok" kalangan pengambil keputusan di bidang Kehutanan NKRI - tetapi tidak banyak diketahui oleh publik - adalah keputusan Mahkamah Konstitusi tanggal 12 Februari 2012 terhadap uji materi yang diajukan oleh 5 orang Bupati di Kalimantan tentang ketentuan pada UU. No. 41/1999 tentang Kehutanan, khususnya pasal 3 angka 1. Diktum di pasal  dimaksud berbunyi "kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap". Kata ditujuk dan ditetapkan inilah yang ditolak oleh para pemohon judicial review karena dianggap akan menjadikan pihak otoritas Kehutanan di Pemerintah Pusat (kementerian Kehutanan) terlalu sewenang-wenang. Daerah ingin agar di tangan mereka ada juga otoritas guna mengatur penggunaan lahan. Tidak hanya hutan tetapi juga untuk kawasan pertambangan, pertanian, peternakan, perkebunan en so on, so on, so on .... Berikut adalah berita tentang hal tersebut (dikuti dari http://www.borneonews.co.id).



Wednesday, 22 February 2012 JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi Pasal 1 angka 3 UU No 41/1999 tentang Kehutanan. Dengan putusan ini, penunjukan kawasan hutan harus melibatkan berbagai pemangku kepentingn di kawasan hutan. “Frasa ‘ditunjuk dan atau’ dalam Pasal 1 angka 3 UU No 41/1999 bertentangan dengan UU 1945,” ujar Wakil Ketua MK Ahmad Sodiki saat membacakan putusan kemarin. Gugatan terhadap UU ini diajukan oleh lima bupati di provinsi Kalimantan Tengah dan seorang pengusaha. Mereka adalah M.Mawardi (Bupati Kapuas),Hambit Bintih (Bupati Gunung Mas),Duwel Rawing (Bupati Katingan), Zain Alkim (Bupati Barito Timur),Ahmad Dirman (Bupati Sukarama), dan Akhmad Taufik. Menurut mereka UU ini merugikan hak konstitusional. Mereka bisa dipidana jika memberi pemberian izin baru atau perpanjangan usaha pertambangan, perkebunan, atau usaha lain di wilayahnya karena masuk kawasan hutan. Sehingga tak ada kepastian hukum dalam menjalankan kewenangannya. Dalam aturan ini, kawasan hutan hanya ditafsirkan sebagai kegiatan penunjukan/ penetapan kawasan hutan, bukan kegiatan pengukuhan kawasan hutan.Padahal penunjukan kawasan hutan hanyalah kegiatan awal untuk mengukuhkan kawasan hutan yang meliputi kegiatan penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan, pemetaan, dan penetapan kawasan hutan.Pemerintah pusat dapat sewenang- wenang dalam memberikan status kawasan hutan di daerah para pemohon. Majelis Hakim berpendapat penetapan kawasan hutan adalah proses akhir dari rangkaian proses pengukuhan kawasan hutan. Maka frasa, “ditunjuk dan atau” yang terdapat dalam Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan bertentangan dengan asas negara hukum.Frasa ini “ditunjuk dan atau” tidak sinkron dengan Pasal 15 UU tersebut. “Dengan demikian ketidaksinkronan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil,” ujar hakim Konstitsi Mohammad Alim. Penunjukan kawasan hutan, menurut MK harus melalui tahap-tahap yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di kawasan hutan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan. Tidak seharusnya suatu kawasan hutan yang akan dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap, menguasai hajat hidup orang banyak, hanya dilakukan melalui penunjukan. “Penunjukan belaka atas suatu kawasan untuk dijadikan kawasan hutan tanpa melalui proses sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan, merupakan pelaksanaan pemerintahan otoriter,” ujarnya. 

Keputusan MK seperti yang diberitakan di atas memiliki implikasi yang luar biasa:
  1. Pemerintah pusat tidak bisa lagi secara sewenang-wenang menunjuk dan menetapkan suatu kawasan sebagai kawasan hutan karena diperlukan proses pengukuhan. Dengan demikian batas-batas kawasan yang ada, sepanjang statusnya hanya penunjukan dan penetapan, maka statusnya sangat sumir. Pemerintah Pusat terpangkas sebagian otoritasnya karena dalam proses pengukuhan otritasnya dibagi kepada pihak lain;
  2.  Dalam keadaan status yang sumir maka pemerintah daerah dapat lebih leluasa menggunakan lahan yang berstatus hutan hasil penunjukan dan penetapan yang ada bagi kepentingan apa saja. Konversi  kawasan hutan menjadi sangat longgar dengan segala konsekuensinya;
  3. Namun demikian, sisi baiknya adalah melalui keputusan inis ebagian hak masyarakat adat dapat dipulihkan. Dalam proses pengukuhan kawasan hutan, pendapat masyarakat ikut menjadi faktor determinan.

Karena itu, tidak ada pilihan lain bagi otoritas Kehutanan di Indonesia agar segera bekerja keras melakukan keegiatan pengukuhan kawasan hutan secara partisipatif dengan melibatkan masyarakat dan stakeholder lainnya. Bagi Forum DAS NTT, kemungkinan seperti ini sudah diperhitungkan. Itulah sebabnya, dalam Perda NTT No. 5/2008 tentang Pengelolaan DAS secara terpadu, dimana ForDAS NTT menjadi konseptornya,  hak-hak masyarakat ada dalam ruang DAS telah diakomodir dalam Pasal 38 yang mengatur tentang hak dan kewajiban masyarakat adat. Oleh karena itu, bagi ForDAS NTT, ketimbang menagisi sisi buruk dari konsekuensi keputusan MK ini lebih baik segera saja digalakan proses-proses partisipatif. Manurut anda bagaimana?


Tidak ada komentar: